728x90 AdSpace

Latest News

Saturday, August 1, 2015

Last Mirror Chapter 6

“Penyesalan adalah sebuah duri yang terinjak di jalan yang dipilih.” (Last/Mirror VI)

Chapter VI “Pengguna Topeng bag.6”

“Huh?”

Mataku terbuka, kembali kepada kesadaranku. Tubuhku menghadap ke langit-langit. Di atas sebuah kasur, aku melihatnya. Tidak salah lagi, ini kamarku. Karena aku masih belum ingat apapun, kucoba duduk untuk melihat apakah ada sesuatu yang terjadi.

“Apa yang-? Uggh-“

Sekujur tubuhku terasa sakit sekali. Leherku, lengan dan juga kakiku, semuanya terasa pegal.

Namun sebuah suara mengalihkanku dari usahaku mengingat hal yang terjadi.

                “Akhirnya kau bangun juga Riv,” katanya, “Kau pingsan hampir seharian ini.”

Ya, itu R, bayanganku. Dari dalam cermin tiba-tiba ia berkata begitu.

                “Apa yang terjadi padaku?”

                “Apa kau lupa? Kau ditebas dan dibakar oleh iblis itu.”

Benar, kenapa aku lupa kejadiannya? Kejadian mengerikan yang aku alami pagi itu.

Tunggu, bagaimana aku bisa baik-baik saja sekarang? Aku seharusnya sudah mati.

Tapi bukan berarti aku ingin mati.

                “Apa yang terjadi saat aku pingsan, R?”

               “Aku tidak tahu pasti, yang jelas seseorang telah menyembuhkan lukamu. Kalian para Maschter tidak mempunyai kekuatan regenerasi. Kalian hanya punya tubuh yang lebih kuat dari manusia biasa. Persoalan kita sekarang ini adalah bagaimana luka-luka di tubuhmu itu dapat pulih walau masih meninggalkan rasa sakit,” jelasnya.

                “Siapapun itu, aku harus berterimakasih kepadanya. Oh iya, ngomong-ngomong, soal iblis kemarin, bagaimana bisa dia sekuat itu?”
  
              “Ya, soal itu, kita melawan iblis yang salah. Kalau asumsiku benar, dia adalah salah satu dari Tujuh Jenderal Besar yang memimpin pasukan iblis,” R mengeluarkan nafasnya “Sang Iblis Api, Ifrit,” lanjut R.

Ifrit. Jadi itu namanya. Tubuh besar berwarna merah, tanduk seperti domba, ekor panjang yang menjulur. Dan juga pedang serta apinya yang kuat. Kurasa kriteria iblis tangguh sudah ia penuhi. Sepertinya aku terlalu berani untuk melawannya saat itu.

Jam dinding menunjukkan waktu sudah mulai pagi. Sudah lewat satu hari penuh sejak pertarungan kami dengan Ifrit. Karena hari sudah terang, aku harus segera bersiap untuk sekolah. Persiapan yang biasa dan tidak cukup lama. Udara dingin masuk lewat kerah seragam OSIS SMPku. Mungkin masih terlalu pagi untuk sekolah. Hitung-hitung ini bayaran karena tidak masuk di hari pertamaku.

Sampailah kami di depan gerbang sekolah.

Kemudian perjalanan menuju ke kelas ku, aku menaiki tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. Sementara itu, lorong yang menghubungkan tangga dan kelas begitu sepi. Ya wajar saja karena ini masih pagi, aku pun sampai di depan kelas. Aku terkejut kala itu.
Karena kulihat Ayla  ada di dalam kelas, dia sedang membaca sebuah buku.

Tunggu, dia satu kelas denganku?

                “Itu dia orang yang bolos saat hari pertama.”

Terdengar suara entah darimana. Suaranya seperti suara Ayla, tetapi karena Ayla masih sibuk dengan bukunya, tidak mungkin dia yang berbicara. Kupastikan itu adalah kata-kata dari Isla.

                “Hah? Apa? Siapa?”

                “R-Rivie? Kenapa kemarin kamu tidak berangkat?”

Ayla tiba-tiba menyudahi kegiatannya membaca buku. Dia lalu berkata demikian dan mulai menutupi wajahnya dengan buku yang baru saja dia baca.

“A-Apa sesuatu terjadi padamu?” ujar Ayla tiba-tiba.

“T-Tidak ada hal buruk kok.”

“Tidak ada apanya?”

Mendadak R muncul lalu menepuk punggungku dengan keras. Tentu saja, secara otomatis aku langsung mengerang kesakitan.

“Sebenarnya ada luka bakar di punggungnya,” ujar R.

Dengan tatapan serius Ayla tiba-tiba berjalan mendekatiku. Ayla kemudian mengucapkan kata-katanya dengan yakin.

“Kalau begitu, ayo kita ke UKS, biar kuobati lukamu.”

“A-Ada apa mendadak begini?

“Diam dan ikut saja.”

“B-Baiklah.”

Nampaknya aku telah melihat jiwa Isla dalam diri Ayla, atau lebih tepatnya sisi gelapnya. Terima kasih. Eh bukan, maksudku. Ini sesuatu yang mengerikan.
Kami tiba di UKS, Ayla mengambil sebuah kotak P3K, R yang berdiri di dekatku hanya senyum-senyum saja, sedangkan Isla membantu menutup etalase.

“Riv, buka seragammu.”

“Heh?”

“Buka bajumu.”

“Hei sudahlah buka saja,” kata Isla.

“B-Baik.”

Kubuka seragam SMPku, kami belum mendapat seragam karena ini masih minggu pertama. Belum lama setelah aku membuka seragamku, Ayla yang sepertinya sudah siap dengan peralatan pertolongan pertama tiba-tiba terdiam.

                “Lukamu, ini nampak parah, tapi kenapa bisa sembuh seperti ini?” kata Ayla.

                “Apa yang membuat kalian mendapat luka ini?” Isla tiba-tiba menimbali.

                “Yah, kami hampir terbunuh kala itu, tapi secara misterius luka-luka ini bisa sembuh.”
R menjelaskan.

                “Kalau kalian tidak keberatan, bisa kalian beritahu siapa yang kalian lawan itu?”
Isla mulai meluncurkan pertanyaannya.

                “Hanya salah seorang Jenderal Besar pasukan iblis…, Haha.”
R menjawabnya dengan tawa kecil. Seketika itu, suasana menjadi hening. Nampaknya Ayla dan Isla tau betapa berbahaya dan kuatnya Jenderal Iblis itu.

                “Apa? ‘hanya’ katamu? Dan juga, dia bukan ‘seorang’!”
Hah? Candaan macam apa itu?

                “Ingat ya! Kalian masih ada disini adalah sebuah keberuntungan, apa yang membuatmu berani melawannya hanya berdua?”

Sekali lagi Isla membentak kami.

                “Soal itu maafkan aku, aku tidak bisa membiarkannya membakar rumah seenak dengkulnya…,” timbalku.

                “Pfft,” R menahan tawa

                “Huh, jadi begitu, lain kali kalau kalian bertemu dengannya lagi jangan lawan sendiri. Beritahu kami untuk datang membantu kalian.”

Isla menyudahi tegurannya dengan tersenyum. Sepertinya dirinya sudah sadar kalau melawan iblis itu adalah satu-satunya yang harus kulakukan. Walaupun begitu, kupikir aku dan R mendapat pelajaran dari kejadian ini.

                “Baiklah, tapi bagaimana cara kami menghubungi kalian?” balas R.

                “Kalau itu…, Ayla, berikan nomor handphone-mu pada Rivie.”

                “Ah-, baik!”

Kami saling bertukar nomor. Wah nomor seseorang selain ayah dan ibuku telah masuk ke dalam list!

Setelah itu, aku mengenakan kembali seragamku. Tidak terasa bel tanda masuk sekolah sudah hampir berbunyi. Kami kembali ke kelas, keadaan disana sudah seperti kelas sewajarnya. Pukul tujuh, semua siswa memulai agenda. Hari ini, kegiatan selesai agak sore karena banyaknya agenda yang ada.
Aku dan Ayla keluar kelas bersama-sama. Ketika sampai di depan gerbang, saat aku menapakkan kaki ke tanah depan gerbang sekolah. Tiba-tiba aku terasa tekanan yang begitu kuat.

“Apa kau merasakan nya Riv?” ujar R pelan.

“Kalian juga merasakannya?” kata Ayla.

Kepalaku menoleh ke arahnya. Lalu mengiyakan pertanyaannya.

“Ini dari iblis itu, sebaiknya kita mencarinya sekarang.”


Ayla melanjutkan kalimatnya. Ada sesuatu yang berbeda darinya, kupikir tidak perlu terburu-buru. Kemudian, kami berlari mendekati sumber tekanan kuat ini. Kami berlari ke arah utara dari sekolah. Ke sebuah lapangan dengan rumput hijau.
no image
  • Title : Last Mirror Chapter 6
  • Posted by :
  • Date : 5:36 AM
  • Labels :
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Top