“Penyesalan adalah sebuah duri yang terinjak di jalan yang dipilih.” (Last/Mirror VI)
Chapter VI
“Pengguna Topeng bag.6”
“Huh?”
Mataku terbuka, kembali kepada kesadaranku. Tubuhku
menghadap ke langit-langit. Di atas sebuah kasur, aku melihatnya. Tidak salah
lagi, ini kamarku. Karena aku masih belum ingat apapun, kucoba duduk untuk
melihat apakah ada sesuatu yang terjadi.
“Apa yang-? Uggh-“
Sekujur tubuhku terasa sakit sekali. Leherku,
lengan dan juga kakiku, semuanya
terasa pegal.
Namun sebuah suara mengalihkanku dari usahaku
mengingat hal yang terjadi.
“Akhirnya
kau bangun juga Riv,” katanya, “Kau pingsan hampir seharian ini.”
Ya, itu R, bayanganku. Dari dalam cermin
tiba-tiba ia berkata begitu.
“Apa
yang terjadi padaku?”
“Apa
kau lupa? Kau ditebas dan dibakar oleh iblis itu.”
Benar, kenapa aku lupa kejadiannya? Kejadian
mengerikan yang aku alami pagi itu.
Tunggu, bagaimana aku bisa baik-baik saja
sekarang? Aku seharusnya sudah mati.
Tapi bukan berarti aku ingin mati.
“Apa
yang terjadi saat aku pingsan, R?”
“Aku tidak tahu pasti, yang jelas seseorang
telah menyembuhkan lukamu. Kalian para Maschter
tidak mempunyai kekuatan regenerasi. Kalian hanya punya tubuh yang lebih kuat
dari manusia biasa. Persoalan kita sekarang ini adalah bagaimana luka-luka di
tubuhmu itu dapat pulih walau masih meninggalkan rasa sakit,” jelasnya.
“Siapapun
itu, aku harus berterimakasih kepadanya. Oh iya, ngomong-ngomong, soal iblis
kemarin, bagaimana bisa dia sekuat itu?”
“Ya,
soal itu, kita melawan iblis yang salah. Kalau asumsiku benar, dia adalah salah
satu dari Tujuh Jenderal Besar yang memimpin pasukan iblis,” R mengeluarkan nafasnya “Sang Iblis Api, Ifrit,” lanjut R.
Ifrit. Jadi itu namanya. Tubuh besar berwarna
merah, tanduk seperti domba, ekor panjang yang menjulur. Dan juga pedang serta apinya yang kuat. Kurasa
kriteria iblis tangguh sudah ia penuhi. Sepertinya aku terlalu berani untuk
melawannya saat itu.
Jam dinding menunjukkan waktu sudah mulai
pagi. Sudah lewat satu hari penuh sejak pertarungan kami dengan Ifrit. Karena
hari sudah terang, aku harus segera bersiap untuk sekolah. Persiapan yang biasa
dan tidak cukup lama. Udara dingin masuk lewat kerah seragam OSIS SMPku.
Mungkin masih terlalu pagi untuk sekolah. Hitung-hitung ini bayaran karena
tidak masuk di hari pertamaku.
Sampailah kami di depan gerbang sekolah.
Kemudian perjalanan menuju ke kelas ku, aku
menaiki tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. Sementara itu,
lorong yang menghubungkan tangga dan kelas begitu sepi. Ya wajar saja karena ini masih pagi, aku pun sampai di depan
kelas. Aku terkejut kala itu.
Karena kulihat Ayla ada di dalam kelas, dia sedang membaca sebuah
buku.
Tunggu, dia satu kelas denganku?
“Itu
dia orang yang bolos saat hari pertama.”
Terdengar suara entah darimana. Suaranya
seperti suara Ayla, tetapi karena Ayla masih sibuk dengan bukunya, tidak
mungkin dia yang berbicara. Kupastikan itu adalah kata-kata dari Isla.
“Hah?
Apa? Siapa?”
“R-Rivie? Kenapa kemarin kamu tidak berangkat?”
Ayla tiba-tiba menyudahi kegiatannya membaca
buku. Dia lalu berkata demikian dan mulai menutupi wajahnya dengan buku yang
baru saja dia baca.
“A-Apa sesuatu terjadi padamu?” ujar
Ayla tiba-tiba.
“T-Tidak ada hal buruk kok.”
“Tidak ada apanya?”
Mendadak R muncul lalu menepuk punggungku
dengan keras. Tentu saja, secara otomatis aku langsung mengerang kesakitan.
“Sebenarnya ada luka bakar di
punggungnya,” ujar R.
Dengan tatapan serius Ayla tiba-tiba berjalan mendekatiku.
Ayla kemudian mengucapkan kata-katanya dengan yakin.
“Kalau begitu, ayo kita ke UKS, biar
kuobati lukamu.”
“A-Ada apa mendadak begini?
“Diam dan ikut saja.”
“B-Baiklah.”
Nampaknya aku telah melihat jiwa Isla dalam
diri Ayla, atau lebih tepatnya sisi gelapnya. Terima kasih. Eh bukan, maksudku.
Ini sesuatu yang mengerikan.
Kami tiba di UKS, Ayla mengambil sebuah kotak
P3K, R yang berdiri di dekatku hanya senyum-senyum saja, sedangkan Isla
membantu menutup etalase.
“Riv, buka seragammu.”
“Heh?”
“Buka bajumu.”
“Hei sudahlah buka saja,” kata Isla.
“B-Baik.”
Kubuka seragam SMPku, kami belum mendapat
seragam karena ini masih minggu pertama. Belum lama setelah aku membuka
seragamku, Ayla yang sepertinya sudah siap dengan peralatan pertolongan pertama
tiba-tiba terdiam.
“Lukamu,
ini nampak parah, tapi kenapa bisa sembuh seperti ini?” kata Ayla.
“Apa yang membuat kalian mendapat luka ini?” Isla tiba-tiba
menimbali.
“Yah,
kami hampir terbunuh kala itu, tapi secara misterius luka-luka ini bisa
sembuh.”
R menjelaskan.
“Kalau
kalian tidak keberatan, bisa kalian beritahu siapa yang kalian lawan itu?”
Isla mulai meluncurkan pertanyaannya.
“Hanya
salah seorang Jenderal Besar pasukan iblis…, Haha.”
R menjawabnya dengan tawa kecil. Seketika itu,
suasana menjadi hening. Nampaknya Ayla dan Isla tau betapa berbahaya dan
kuatnya Jenderal Iblis itu.
“Apa?
‘hanya’ katamu? Dan juga, dia bukan ‘seorang’!”
Hah? Candaan macam apa
itu?
“Ingat
ya! Kalian masih ada disini adalah sebuah keberuntungan, apa yang membuatmu berani
melawannya hanya berdua?”
Sekali lagi Isla membentak kami.
“Soal
itu maafkan aku, aku tidak bisa membiarkannya membakar rumah seenak
dengkulnya…,” timbalku.
“Pfft,”
R menahan tawa
“Huh,
jadi begitu, lain kali kalau kalian bertemu dengannya lagi jangan lawan
sendiri. Beritahu kami untuk datang membantu kalian.”
Isla menyudahi tegurannya dengan tersenyum.
Sepertinya dirinya sudah sadar kalau melawan iblis itu adalah satu-satunya yang
harus kulakukan. Walaupun begitu, kupikir aku dan R mendapat pelajaran dari
kejadian ini.
“Baiklah,
tapi bagaimana cara kami menghubungi kalian?” balas R.
“Kalau
itu…, Ayla, berikan nomor handphone-mu
pada Rivie.”
“Ah-,
baik!”
Kami saling
bertukar nomor. Wah nomor seseorang selain ayah dan ibuku telah masuk ke dalam list!
Setelah itu, aku mengenakan kembali seragamku.
Tidak terasa bel tanda masuk sekolah sudah hampir berbunyi. Kami kembali ke
kelas, keadaan disana sudah seperti kelas sewajarnya. Pukul tujuh, semua siswa
memulai agenda. Hari ini, kegiatan selesai agak sore karena banyaknya agenda yang
ada.
Aku dan Ayla keluar kelas bersama-sama. Ketika
sampai di depan gerbang, saat aku menapakkan kaki ke tanah depan gerbang
sekolah. Tiba-tiba aku terasa tekanan yang begitu kuat.
“Apa kau merasakan nya Riv?” ujar R
pelan.
“Kalian juga merasakannya?” kata Ayla.
Kepalaku menoleh ke arahnya. Lalu mengiyakan
pertanyaannya.
“Ini dari iblis itu, sebaiknya kita
mencarinya sekarang.”
Ayla melanjutkan kalimatnya. Ada sesuatu yang berbeda darinya, kupikir
tidak perlu terburu-buru. Kemudian, kami berlari mendekati sumber tekanan kuat
ini. Kami berlari ke arah utara dari sekolah. Ke sebuah lapangan dengan rumput
hijau.
0 comments:
Post a Comment