“Adigang, Adigung, Adiguna, Adiwicara.” (Last/Mirror V)
Chapter V
‘Pengguna Topeng bag.5’
Tanpa pikir panjang aku langsung keluar menuju
rumah terbakar itu. Mungkin aku sudah tidak sempat menolong penghuni rumahnya. Kalau
begini lebih baik bagaimana?
“Hei R, menurutmu lebih baik padamkan
apinya dulu atau lawan iblisnya?” tanyaku.
“Itu pilihanmu sendiri, kalo aku sih
tinggal membantu aja,” katanya lalu menungguku berbicara.
“Ya, kalau padamkan apinya, pakai apa?
Jadi kita lawan iblisnya secepat mungkin sebelum apinya merambat kemana-mana.”
“Oke, itu keputusanmu.”
“Baiklah!”
“Hei!!!.... Wahai iblis api! Apa kau
mendengarku?” lanjutku berteriak.
Kobaran api itu makin membesar. Sepertinya
iblis itu mendengar teriakanku. Kulanjutkan teriakanku lagi.
“Hei kau dengar tidak? Apa kau akan
terus bersembunyi di dalam kobaran api itu?”
Kobaran api itu membesar lagi, dan nampak
berubah menjadi wujud asli iblis itu.
“Hahahahaha siapa yang berani menantangku
hah?”
Tawa panjang yang muncul dari balik api itu.
Tunggu dulu, dia bisa berbicara? Apa bahasa kami sama?
Apapun itu, yang jelas…, dia terasa berbeda
dari iblis yang pernah kutemui.
“Disini! Keluarlah jika kau ingin
membunuhku,” aku mengatakan sesuatu yang cukup berani.
“Baiklah, kuharap kau tidak menyesal
sudah menantangku, hahaha,” ujarnya.
Kobaran api itu tiba-tiba berubah. Beralih
menjadi wujud lain. Bentuknya sekarang tampak menjadi iblis bertanduk, bertubuh
besar, berwarna merah, dengan ekor yang lumayan panjang.
“Heh cuma anak kecil rupanya, untuk
apa kau kesini?” dia bertanya dengan sombong.
“Tentu saja, untuk mengalahkanmu karena
kerusakan yang kau perbuat.”
“Anak kecil yang sendirian sepertimu mengalahkanku?
Beneran? Hahaha!”
Dasar, dia membuatku kesal, tapi dia benar. Mungkin
aku akan kesusahan melawannya jika sendirian. Tapi aku tidak sendirian, aku
bersama R.
“Kalau begitu kita mulai, tapi sebelum
itu aku ingin kau mematikan apinya,” kataku berusaha mengambil untung.
“Hahaha oke, tak masalah untuk bocah
sepertimu.”
Kalau dia memang benar-benar meremehkanku, pasti
begini.
Api yang melalap rumah itu langsung padam
seketika. Baguslah, kalau begini hanya tinggal menangani iblisnya saja.
Aku langsung mengeluarkan pisauku dari saku
celana.
Dengan cepat ku arahkan pisauku pada iblis
itu. Namun dia menghindar dengan gerakan yang lebih cepat dibanding diriku.
“Hahaha boleh juga gerakanmu tadi, kali
ini kau yang akan kutebas,” katanya.
“Dia
sangat cepat,” batinku
“Cepat pakai topengmu, dan jangan
meremehkannya! Biarkan aku membantu,” ujar R.
Baiklah. Aku menuruti perkataan R, aku memakai
topengku yang hanya setengah bagian itu. Cahaya menyelimuti tubuhku, R yang
tadi dibelakangku menghilang bersamaan dengan munculnya cahaya. Topeng kami
bergabung menjadi satu.
“Oh seorang pengguna topeng ya? Jadi,
apa kau sudah siap menerima seranganku?”
“Hah! kapan saja aku pasti-“
Tiba-tiba tebasan pedang apinya mengenai
bagian belakang bajuku.
Dia memang benar-benar cepat.
“Beruntunglah karena kau seorang Maschter, kalau bukan, pasti kau sudah
terbelah dua.”
Entah dia memuji atau menyindir diriku. Tapi
ini benar-benar…, punggungku terasa terbakar.
Perih sekali.
“Sial
bagaimana caraku mengalahkannya?” batinku.
“Tahan
sebentar Riv, sementara aku akan mencari cara.”
Kelihatannya R mencoba berpikir. Memang, untuk
melancarkan satu serangan kepadanya sudah sangat susah. Kalau aku berpikir
untuk mengalahkannya, mungkin masih jauh dari itu. Kelihatan tidak mungkin. Apa
yang harus kuperbuat?
“Apa yang kau gumamkan dari tadi, HAH!?”
Lagi-lagi dia menyerangku dengan sangat cepat.
Dan tiba-tiba serangannya mengenai tanganku sehingga pisauku harus terlempar ke
belakang. Kupanggil lagi pisauku itu.
“Haha sepertinya kau punya banyak
senjata ya!?” ujarnya.
Tunggu…, banyak? Langsung aku menoleh ke
belakang. Ya terlihat pisauku yang terlempat tadi, dan aku bisa memanggil satu
lagi. Apa aku mampu menggandakan sesuatu yang aku bayangkan?
Ngomong-ngomong, pisau yang terlempar itu
pisau yang ku pakai untuk bunuh diri. Artinya pisau yang pertama kali kupanggil
saat itu, adalah pisau yang berbeda. Pisau yang kuasah dengan ‘Minjak Asah Kang
Mahmoed’ berbeda dengan yang barusan kugunakan.
“Jadi seperti itu ya…,” kataku
tersenyum kecil.
“Apa ada yang lucu, bocah?”
“Tidak ada.”
“Hahaha, apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Kau sudah menemukannya, bukan begitu,
Riv?”
“Ya akhirnya kutemukan ability ku.”
Kutatap mata iblis itu dari tempatku
berdiri “Kali ini pasti kena,” lanjutku.
Kupanggil pisau sebanyak mungkin. Satu menjadi
dua. Dua menjadi empat. Empat kemudian menjadi delapan, sebanyak mungkin! Pisau-pisau
itu satu per satu muncul di sekitarku. Entah mengapa gravitasi tidak berlaku
kepada pisau-pisau yang baru terbentuk itu. Mereka
melayang seraya makin bertambah.
“Apa-apaan!?” kata iblis itu terkejut.
“Biar kuberitahu kemampuanku! Gandakanlah!
Doubler!”
Pisau-pisauku menggandakan dirinya hingga
mencapai angka enam puluh empat. Ya, sepertinya hanya sebanyak ini yang kubisa…. Kemudian dengan
kecepatan tinggi, keenam puluh empat pisauku melesat mengenai
kaki dan dadanya. Kuejek dirinya sambil tersenyum.
“Bagaimana menurutmu iblis!? Apa ada
yang mau kau katakan!?”
“Argh-ghahaha, t-tentu saja ada!” ujarnya
ikut memasang senyum, “Jujur saj-ja…, a-aku tidak menyangka kehebatanmu, d-d-dan….”
“Dan apa?” aku memotong kata-katanya.
“-Aku
harus pamit dulu, dan sebelum itu....”
Aku merasakan sesuatu yang tidak enak.
Seperti, iblis ini akan mengeluarkan kekuatan penuhnya. Tekanan udara di
sekitarku mulai berubah.
……………………………….“Selamat Tinggal.”
Huh? Dia menghilang.
….
“AAAAArrrhghagGGH!!!!”
“A-A-A-APA INI!!!??”
Pedangnya…, pedang apinya…!
Pedangnya menusuk dadaku….
“BAGAIMANA BOCAH!!?? Dengan ini
cukuplah dirimu untuk tidak mengangguku lagi!!!”
Mulutku mengeluarkan darah. Aku tidak bisa
menjawab perkataannya. Rasa panas dari pedangnya mencapai kepalaku. Aku
rapatkan gigiku untuk menahan rasa sakit yang luar biasa ini.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara. Suara
seperti korek api yang dinyalakan. Namun seketika menghilang dalam sekejap.
Sepertinya, tubuhku terbakar. Ia membakarku
dengan mudah seperti memberi api pada kertas yang sudah menyerap bensin.
Iblis itu sepertinya mencabut pedang dari
tubuhku lalu pergi.
Tubuhku dibiarkan tergeletak begitu saja. Dia memang
bukan iblis biasa. Siapa sebenarnya?
Beginikah akhirku? Dengan mulut yang penuh darah.
Tubuh yang terbakar api. Mataku terpejam bersamaan dengan munculnya matahari.
0 comments:
Post a Comment