728x90 AdSpace

Latest News

Monday, August 1, 2016

Aku Senang Kau Mengerti

Aku Senang Kau Mengerti
Tap, tap, hap.

Kakinya melangkah cepat, lalu meluncur ke atas lantai. Rambut yang terikat. Poninya terangkat. Telapak tangannya terbuka sedangkan jari-jarinya tertutup rapat.

Bak.

Dengan tubuhnya yang perlahan mendekati net, telapak tangannya memukul bola dengan keras. Sesuai dengan hukum newton, bola itu terhempas dengan cepat.

Buk.

Tak satupun orang yang berhasil menghalangi jatuhnya bola. Itulah yang semuanya harapkan. Akan tetapi, kenyataannya lain. Blocker menghentikan gerak bola dengan tangannya sehingga bola berbalik ke pergelangan tangan Tia.

Itu cukup membuat Tia terkejut. Bola yang telah dipukul sekuat tenaga olehnya malah berbalik dan tidak mencetak skor.

Pupilnya mengecil bersamaan dengan alisnya yang terangkat. Tia menahan sakit yang ia dapatkan. Karena bukan hanya sakit yang ia dapat, lengannya yang terlempar ke belakang ikut menarik tubuhnya.

Buk.

Refleks menyelamatkan tubuhnya dari sakit, tapi tidak dengan lengannya. Ini kemungkinan terburuknya, dan benar-benar telah terjadi. Lengan Tia patah, itu terjadi dalam sesaat.

----------

“Kenapa ini terjadi padaku?” keluh Tia dalam hati.

“Walaupun teman-teman tidak masalah dengan kekalahan kami. Meskipun aku adalah jagoan tim voli. Tapi tetap saja aku yang menyebabkan semua ini.”

Di dalam kamar, di sebuah rumah sakit, dengan tangannya yang terpasang gips, Tia menyesali baik apa yang terjadi pada temannya maupun yang terjadi pada dirinya. Rasanya mimpinya menjadi seorang juara voli telah hilang.

Tia dirawat selama 1 minggu, masih memungkinkan baginya untuk bergerak, sehingga ia diperbolehkan bersekolah setelah itu. Tangannya sudah lebih baik sekarang, namun hatinya belum kunjung membaik. Ia merasa tidak mampu melakukan apapun dengan tangannya, terutama untuk bermain voli.

Kring~

Bel tanda istirahat berbunyi. Tia berjalan ke luar gedung sekolah. Sendirian, dia duduk di bangku yang beratapkan pohon. Poninya sesekali tertiup angin, ia membiarkannya, selagi matanya menatap langit.

Tiba-tiba seseorang datang mendekatinya. Laki-laki dengan seragam SMA menatap Tia dengan tatapan tajam. Tia menggerakkan kepalanya untuk melihat. Dia mengenalnya, laki-laki itu kakak kelas Tia.

“Kak Ezra?” seru Tia.

Kakak kelas Tia, Ezra. Dia kakak kelasnya sekaligus seniornya di tim voli. Bedanya dia berada di tim putra. Dan walaupun Tia merupakan jagoan tim voli, Ezra jauh lebih hebat dibandingkan dengannya.

“Sedang apa, ti?”

“Melihat awan….”

Dengan lehernya yang terangkat ke atas Tia berkata demikian. Ia mengalihkan pandangannya dan juga alasan mengapa ia duduk sendiri di bangku itu.

“Aku tau kau sedang menyimpan perasaan sedih.”

Kata-kata dari Ezra membuat mata Tia melebar sesaat. Tia berpikir kalau Ezra hanya sedang mencoba menghibur dirinya.

“Lalu apa?” tanya Tia.

“Hmm? Kupikir kau mau menceritakannya, mungkin aku bisa-.”

“Sudahlah!”

Tia mengeraskan suaranya. Berteriak dengan penuh rasa sedih. Ia memotong perkataan Ezra yang belum sempat diselesaikannya.

“Kenapa berteriak?” tanya Ezra.

“Kak Ezra itu orang yang hebat! Bahkan tim voli putra berhasil lolos sampai ke provinsi! Walau kuceritakan semua masalahku ini, orang hebat sepertimu mana bisa mengerti!”

“Sebentar, Tia, kau tak perlu berteriak.”

                Ezra berusaha menenangkan Tia. Ia ingin menjelaskan sesuatu, atau lebih tepatnya dijelaskan. Bagi Ezra sama sekali belum tergambar betapa gundahnya hati Tia sekarang. Sampai membuat Tia berteriak tiba-tiba begitu.

“Kalau begitu harus apa aku!? Sudah lama aku berjuang pada voli. Sekarang, semua usahaku terbuang sia-sia! Lenganku kini tidak sekuat dulu. Smash, servis, bahkan menerima bola, sekarang aku tidak bisa melakukannya!”

Air matanya keluar. Perlahan menuruni pipinya. Tia mengangkat tubuhnya dari posisi duduk ke posisi berdiri. Sekali lagi, bel berbunyi. Kali ini tanda waktu istirahat telah usai.

“Baik aku permisi dulu, kak…,” pamitnya, seraya berjalan menjauh membelakangi Ezra.

“Tunggu…!”

Ezra ikut berdiri, dia mengejar Tia lalu memegang tangan kirinya yang berayun ke belakang.

“Lepasin….”

“Setelah kau mendengar perkataanku.”

Tanpa pikir panjang, Tia menarik lengan kirinya, sehingga terlepas tangan Ezra darinya. Kemudian ia berlari tanpa tahu tujuan.

Mengetahui hal itu Ezra langsung mengejarnya. Berlarilah mereka ke arah gerbang sekolah.

Setelah melewati gerbang, tiba-tiba langkah Tia terhenti. Ia berhenti di tempat penyeberangan yang ada di depan gerbang. Seperti sedang menunggu jalan menjadi kosong dan aman untuk berlari.

“Jadi dengarkan aku…, Tia…,” napas Ezra terengah-engah karena berlari.

Mereka berdua, Ezra dan Tia berhenti. Ezra berada beberapa meter di belakang Tia.

“Kau hanya fokus pada voli, itu tidak salah. Tapi jangan menyerah pada hidupmu hanya karena lenganmu tidak sekuat dulu lagi,” lanjut Ezra.

Perkataan Ezra bukannya menghibur. Itu hanya membuat Tia makin kesal. Dia berpikir kalau Ezra menganggap tangan yang patah hanya sebagai masalah kecil.

“Orang sepertimu yang tak pernah kehilangan harapan takkan pernah mengerti!”

Teriakannya sampai ke dalam telinga Ezra. Tia yang sedang menurunkan pandangannya mendadak berlari cepat ke tengah jalanan. Mata Ezra terbelalak, bukan hanya karena teriakan Tia yang terdengar menyedihkan.

Angin kencang meniup apapun yang dilewati. Mentari meredupkan cahayanya, tertutup oleh awan tebal. Pepohonan yang rindang melepaskan beberapa daunnya. Tia masih berlari dengan cepat sambil menutup matanya. Tapi saat ia mulai mendengar sesuatu.

Suara klakson mobil terdengar. Tia mulai membuka matanya. Melihat mobil semakin mendekatinya sambil membunyikan klakson. Tia tidak punya kesempatan untuk menghindar. Ia hanya bisa diam. Tapi dengan mendadak Ezra mendorong mundur tubuh Tia.

Bruk.

                Tia terjatuh ke atas aspal. Wajahnya sedikit lecet. Akan tetapi masalah tidak menimpa tangannya. Karena Ezra mendorongnya ke belakang, tangannya sama sekali tidak menyentuh aspal.

                Ia bersyukur karena itu. Kemudian dicarinya Ezra. Tia hanya melihat mobil yang hampir menabraknya tadi berhenti di depannya. Pemilik mobil membuka lalu menutup pintunya. Ia menghampiri tubuh pria yang tergeletak di atas aspal itu.

                Pikiran Tia tidak keruan. Dia merasa semakin bersalah, kali ini bukan hanya dirinya maupun timnya. Kakak kelas yang dia kagumi ikut terseret ke dalam masalah yang Tia sebabkan.

----------

                Di sebuah lorong putih. Kakinya berdiri tegak, menghadap ke sebuah pintu. Air mata sempat menetes dari matanya. Ia menghapus dengan tangannya.

                Tia membuka pintu. Pintu kamar dimana Ezra dirawat. Dengan pakaian satu kain yang berenda serta tangannya yang masih di gips , ia berjalan memasuki ruangan itu. Terlihat Ezra yang sedang duduk di atas ranjang. Tia memberanikan dirinya untuk duduk di kursi yang ada di samping ranjang.

             “Aku minta maaf, Kak Ezra…,” pintanya.

Dengan kakinya yang diperban Ezra menutup matanya dan merundukkan kepala.

“Tidak apa, ini salahku, membuatmu lari sampai keluar sekolah.”

“Tapi kakimu…. Tanpanya pasti akan kesulitan saat bermain voli…, atau kemungkinan terburuknya, kak Ezra bakalan tidak bisa main voli lagi!”

“Ini masih bisa sembuh, dalam beberapa bulan aku akan kembali bermain voli.”

“Tapi misal bisa bermain pun, kak Ezra mungkin tidak sebaik sebelumnya.”

“Cuma itu kan?”

Mereka beradu pendapat. Tia terus-terusan mengarahkan pandangannya kepada Ezra. Akan tetapi, pertanyaan Ezra barusan membuatnya pandangannya melemah.

“Tidak cuma itu, kak Ezra akan kesulitan untuk meraih juara lagi.”

Argumennya mulai melemah. Tia terlalu berpikir akan penderitaan Ezra yang juga dialami olehnya. Ia juga berpikir tentang bagaimana dia dapat membantu Ezra.

“Dengar Tia…,”

Ezra menghadapkan wajahnya ke arah Tia. Mata mereka saling bertatap. Senyum terlukis di wajah Ezra, dia mencoba menyampaikan sesuatu.

“Aku mungkin tidak akan bisa melompat dan bermain seperti dulu. Tapi bukan berarti aku harus berhenti pada impianku, begitu juga kau, Tia. Kadang hidup tidak sesuai dengan harapan kita kan? Jika tidak bisa bermain voli lagi, kita bisa mencari jalan lain. Masih ada hal yang bisa kita lakukan dengan kekurangan kita.”

“Apa yang bisa kulakukan? Dengan tangan seperti ini?”

Tia bertanya dengan matanya yang mulai meneteskan air mata.

“Tentu saja aku tidak tau…, jawabannya hanya ada padamu….”

“Kaulah yang menentukan, kaulah yang mengembangkan. Jadi seperti apa dirimu, itu tergantung jati dirimu,” lanjutnya.

“Jati diriku?”

“Ya, aku juga akan hidup sesuai jati diriku.”

                Matanya yang basah dengan air mata terbuka lebar. Tapi masih ada pertanyaan dari dalam diri Tia yang belum terjawab.

                “Kita masih belum bisa bermain voli lagi. Apa masih bisa sesuai dengan jati diri?”

                “Sudah kubilang kan, Tia. Kita bisa mencari jalan lain untuk hidup. Meski aku maupun dirimu putus asa, kalau ada kemauan pasti kita akan menemui sesuatu yang bisa kita lakukan.”

                Matanya terbuka semakin lebar. Air mata mulai membanjiri pipinya. Tia sadar kalau berputus asa tidaklah menyelesaikan apapun. Malah membuat semua semakin parah. Dalam hidup ini kita bisa saja mendapat halangan dalam mencapai sesuatu. Bukan hanya terhalang, namun terhenti. Disaat itulah kadang kita berputus asa. Padahal Tuhan itu Maha Mengetahui. Masih ada jalan lain yang tak terpikirkan, dan hanya orang yang tetap tabah yang mampu menemukannya.

Apabila kita mengambil jalan lain dan meninggalkan keputusasaan, bisa saja ada sesuatu hal yang baik akan menghampiri kita.

                “Terimakasih, kak....”

                Tia menangis dan tersenyum. Dia merasa bisa bangkit kembali. Walau bukan dalam voli, dia merasa dapat menemukan jati dirinya yang lain.

                “Sekarang aku mengerti, walau dengan semua hambatan ini, bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Justru semua ini membuatku untuk mencoba hal lain. Aku jarang melakukan aktivitas lain karena selama ini aku fokus bermain voli. Jadi aku benar-benar berterimakasih, kak Ezra….”

                “Syukurlah kalau begitu.”

Di dalam kamar putih. Cahaya matahari terpotong kaca. Menyinari wajah berseri mereka berdua. Tanpa ada rasa sedih, mereka berbicara satu sama lain.

                “Aku senang kau mengerti…,”
no image
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Top