Aku Senang Kau Mengerti
Tap, tap, hap.
Kakinya melangkah cepat, lalu meluncur
ke atas lantai. Rambut yang terikat. Poninya terangkat. Telapak tangannya
terbuka sedangkan jari-jarinya tertutup rapat.
Bak.
Dengan tubuhnya yang perlahan
mendekati net, telapak tangannya memukul bola dengan keras. Sesuai dengan hukum
newton, bola itu terhempas dengan cepat.
Buk.
Tak satupun orang yang berhasil
menghalangi jatuhnya bola. Itulah yang semuanya harapkan. Akan tetapi,
kenyataannya lain. Blocker
menghentikan gerak bola dengan tangannya sehingga bola berbalik ke pergelangan
tangan Tia.
Itu cukup membuat Tia terkejut.
Bola yang telah dipukul sekuat tenaga olehnya malah berbalik dan tidak mencetak
skor.
Pupilnya mengecil bersamaan dengan
alisnya yang terangkat. Tia menahan sakit yang ia dapatkan. Karena bukan hanya
sakit yang ia dapat, lengannya yang terlempar ke belakang ikut menarik
tubuhnya.
Buk.
Refleks menyelamatkan tubuhnya dari
sakit, tapi tidak dengan lengannya. Ini kemungkinan terburuknya, dan
benar-benar telah terjadi. Lengan Tia patah, itu terjadi dalam sesaat.
----------
“Kenapa ini terjadi padaku?” keluh
Tia dalam hati.
“Walaupun teman-teman tidak masalah
dengan kekalahan kami. Meskipun aku adalah jagoan tim voli. Tapi tetap saja aku
yang menyebabkan semua ini.”
Di dalam kamar, di sebuah rumah
sakit, dengan tangannya yang terpasang gips, Tia menyesali baik apa yang
terjadi pada temannya maupun yang terjadi pada dirinya. Rasanya mimpinya
menjadi seorang juara voli telah hilang.
Tia dirawat selama 1 minggu, masih memungkinkan
baginya untuk bergerak, sehingga ia diperbolehkan bersekolah setelah itu.
Tangannya sudah lebih baik sekarang, namun hatinya belum kunjung membaik. Ia
merasa tidak mampu melakukan apapun dengan tangannya, terutama untuk bermain
voli.
Kring~
Bel tanda istirahat berbunyi. Tia
berjalan ke luar gedung sekolah. Sendirian, dia duduk di bangku yang beratapkan
pohon. Poninya sesekali tertiup angin, ia membiarkannya, selagi matanya menatap
langit.
Tiba-tiba seseorang datang
mendekatinya. Laki-laki dengan seragam SMA menatap Tia dengan tatapan tajam.
Tia menggerakkan kepalanya untuk melihat. Dia mengenalnya, laki-laki itu kakak
kelas Tia.
“Kak Ezra?” seru Tia.
Kakak kelas Tia, Ezra. Dia kakak
kelasnya sekaligus seniornya di tim voli. Bedanya dia berada di tim putra. Dan
walaupun Tia merupakan jagoan tim voli, Ezra jauh lebih hebat dibandingkan
dengannya.
“Sedang apa, ti?”
“Melihat awan….”
Dengan lehernya yang terangkat ke
atas Tia berkata demikian. Ia mengalihkan pandangannya dan juga alasan mengapa
ia duduk sendiri di bangku itu.
“Aku tau kau sedang menyimpan
perasaan sedih.”
Kata-kata dari Ezra membuat mata
Tia melebar sesaat. Tia berpikir kalau Ezra hanya sedang mencoba menghibur
dirinya.
“Lalu apa?” tanya Tia.
“Hmm? Kupikir kau mau
menceritakannya, mungkin aku bisa-.”
“Sudahlah!”
Tia mengeraskan suaranya. Berteriak
dengan penuh rasa sedih. Ia memotong perkataan Ezra yang belum sempat diselesaikannya.
“Kenapa berteriak?” tanya Ezra.
“Kak Ezra itu orang yang hebat!
Bahkan tim voli putra berhasil lolos sampai ke provinsi! Walau kuceritakan
semua masalahku ini, orang hebat sepertimu mana bisa mengerti!”
“Sebentar, Tia, kau tak perlu
berteriak.”
Ezra
berusaha menenangkan Tia. Ia ingin menjelaskan sesuatu, atau lebih tepatnya
dijelaskan. Bagi Ezra sama sekali belum tergambar betapa gundahnya hati Tia
sekarang. Sampai membuat Tia berteriak tiba-tiba begitu.
“Kalau begitu harus apa aku!? Sudah
lama aku berjuang pada voli. Sekarang, semua usahaku terbuang sia-sia! Lenganku
kini tidak sekuat dulu. Smash,
servis, bahkan menerima bola, sekarang aku tidak bisa melakukannya!”
Air matanya keluar. Perlahan
menuruni pipinya. Tia mengangkat tubuhnya dari posisi duduk ke posisi berdiri.
Sekali lagi, bel berbunyi. Kali ini tanda waktu istirahat telah usai.
“Baik aku permisi dulu, kak…,”
pamitnya, seraya berjalan menjauh membelakangi Ezra.
“Tunggu…!”
Ezra ikut berdiri, dia mengejar Tia
lalu memegang tangan kirinya yang berayun ke belakang.
“Lepasin….”
“Setelah kau mendengar
perkataanku.”
Tanpa pikir panjang, Tia menarik
lengan kirinya, sehingga terlepas tangan Ezra darinya. Kemudian ia berlari tanpa
tahu tujuan.
Mengetahui hal itu Ezra langsung
mengejarnya. Berlarilah mereka ke arah gerbang sekolah.
Setelah melewati gerbang, tiba-tiba
langkah Tia terhenti. Ia berhenti di tempat penyeberangan yang ada di depan
gerbang. Seperti sedang menunggu jalan menjadi kosong dan aman untuk berlari.
“Jadi dengarkan aku…, Tia…,” napas
Ezra terengah-engah karena berlari.
Mereka berdua, Ezra dan Tia
berhenti. Ezra berada beberapa meter di belakang Tia.
“Kau hanya fokus pada voli, itu
tidak salah. Tapi jangan menyerah pada hidupmu hanya karena lenganmu tidak
sekuat dulu lagi,” lanjut Ezra.
Perkataan Ezra bukannya menghibur.
Itu hanya membuat Tia makin kesal. Dia berpikir kalau Ezra menganggap tangan
yang patah hanya sebagai masalah kecil.
“Orang sepertimu yang tak pernah
kehilangan harapan takkan pernah mengerti!”
Teriakannya sampai ke dalam telinga
Ezra. Tia yang sedang menurunkan pandangannya mendadak berlari cepat ke tengah
jalanan. Mata Ezra terbelalak, bukan hanya karena teriakan Tia yang terdengar
menyedihkan.
Angin kencang meniup apapun yang
dilewati. Mentari meredupkan cahayanya, tertutup oleh awan tebal. Pepohonan
yang rindang melepaskan beberapa daunnya. Tia masih berlari dengan cepat sambil
menutup matanya. Tapi saat ia mulai mendengar sesuatu.
Suara klakson mobil terdengar. Tia
mulai membuka matanya. Melihat mobil semakin mendekatinya sambil membunyikan
klakson. Tia tidak punya kesempatan untuk menghindar. Ia hanya bisa diam. Tapi
dengan mendadak Ezra mendorong mundur tubuh Tia.
Bruk.
Tia
terjatuh ke atas aspal. Wajahnya sedikit lecet. Akan tetapi masalah tidak
menimpa tangannya. Karena Ezra mendorongnya ke belakang, tangannya sama sekali
tidak menyentuh aspal.
Ia
bersyukur karena itu. Kemudian dicarinya Ezra. Tia hanya melihat mobil yang
hampir menabraknya tadi berhenti di depannya. Pemilik mobil membuka lalu
menutup pintunya. Ia menghampiri tubuh pria yang tergeletak di atas aspal itu.
Pikiran
Tia tidak keruan. Dia merasa semakin bersalah, kali ini bukan hanya dirinya
maupun timnya. Kakak kelas yang dia kagumi ikut terseret ke dalam masalah yang
Tia sebabkan.
----------
Di
sebuah lorong putih. Kakinya berdiri tegak, menghadap ke sebuah pintu. Air mata
sempat menetes dari matanya. Ia menghapus dengan tangannya.
Tia
membuka pintu. Pintu kamar dimana Ezra dirawat. Dengan pakaian satu kain yang berenda
serta tangannya yang masih di gips , ia berjalan memasuki ruangan itu. Terlihat
Ezra yang sedang duduk di atas ranjang. Tia memberanikan dirinya untuk duduk di
kursi yang ada di samping ranjang.
“Aku
minta maaf, Kak Ezra…,” pintanya.
Dengan kakinya yang diperban Ezra
menutup matanya dan merundukkan kepala.
“Tidak apa, ini salahku, membuatmu
lari sampai keluar sekolah.”
“Tapi kakimu…. Tanpanya pasti akan
kesulitan saat bermain voli…, atau kemungkinan terburuknya, kak Ezra bakalan
tidak bisa main voli lagi!”
“Ini masih bisa sembuh, dalam
beberapa bulan aku akan kembali bermain voli.”
“Tapi misal bisa bermain pun, kak
Ezra mungkin tidak sebaik sebelumnya.”
“Cuma itu kan?”
Mereka beradu pendapat. Tia
terus-terusan mengarahkan pandangannya kepada Ezra. Akan tetapi, pertanyaan
Ezra barusan membuatnya pandangannya melemah.
“Tidak cuma itu, kak Ezra akan
kesulitan untuk meraih juara lagi.”
Argumennya mulai melemah. Tia
terlalu berpikir akan penderitaan Ezra yang juga dialami olehnya. Ia juga
berpikir tentang bagaimana dia dapat membantu Ezra.
“Dengar Tia…,”
Ezra menghadapkan wajahnya ke arah
Tia. Mata mereka saling bertatap. Senyum terlukis di wajah Ezra, dia mencoba
menyampaikan sesuatu.
“Aku mungkin tidak akan bisa
melompat dan bermain seperti dulu. Tapi bukan berarti aku harus berhenti pada
impianku, begitu juga kau, Tia. Kadang hidup tidak sesuai dengan harapan kita
kan? Jika tidak bisa bermain voli lagi, kita bisa mencari jalan lain. Masih ada
hal yang bisa kita lakukan dengan kekurangan kita.”
“Apa yang bisa kulakukan? Dengan
tangan seperti ini?”
Tia bertanya dengan matanya yang
mulai meneteskan air mata.
“Tentu saja aku tidak tau…,
jawabannya hanya ada padamu….”
“Kaulah yang menentukan, kaulah
yang mengembangkan. Jadi seperti apa dirimu, itu tergantung jati dirimu,” lanjutnya.
“Jati diriku?”
“Ya, aku juga akan hidup sesuai
jati diriku.”
Matanya
yang basah dengan air mata terbuka lebar. Tapi masih ada pertanyaan dari dalam
diri Tia yang belum terjawab.
“Kita
masih belum bisa bermain voli lagi. Apa masih bisa sesuai dengan jati diri?”
“Sudah
kubilang kan, Tia. Kita bisa mencari jalan lain untuk hidup. Meski aku maupun
dirimu putus asa, kalau ada kemauan pasti kita akan menemui sesuatu yang bisa
kita lakukan.”
Matanya
terbuka semakin lebar. Air mata mulai membanjiri pipinya. Tia sadar kalau
berputus asa tidaklah menyelesaikan apapun. Malah membuat semua semakin parah.
Dalam hidup ini kita bisa saja mendapat halangan dalam mencapai sesuatu. Bukan
hanya terhalang, namun terhenti. Disaat itulah kadang kita berputus asa.
Padahal Tuhan itu Maha Mengetahui. Masih ada jalan lain yang tak terpikirkan,
dan hanya orang yang tetap tabah yang mampu menemukannya.
Apabila kita mengambil jalan lain
dan meninggalkan keputusasaan, bisa saja ada sesuatu hal yang baik akan
menghampiri kita.
“Terimakasih,
kak....”
Tia
menangis dan tersenyum. Dia merasa bisa bangkit kembali. Walau bukan dalam
voli, dia merasa dapat menemukan jati dirinya yang lain.
“Sekarang
aku mengerti, walau dengan semua hambatan ini, bukan berarti aku tidak bisa
melakukan apa-apa lagi. Justru semua ini membuatku untuk mencoba hal lain. Aku
jarang melakukan aktivitas lain karena selama ini aku fokus bermain voli. Jadi
aku benar-benar berterimakasih, kak Ezra….”
“Syukurlah
kalau begitu.”
Di dalam kamar putih. Cahaya matahari terpotong kaca.
Menyinari wajah berseri mereka berdua. Tanpa ada rasa sedih, mereka berbicara
satu sama lain.
“Aku
senang kau mengerti…,”
0 comments:
Post a Comment