“Bukanlah
orang yang kuat yang menang dalam pergulatan akan tetapi orang yang kuat ialah
yang mampu menahan hawa nafsunya saat marah.”
(HR. al-Bukhari no.5763, Muslim
no.2609) (Last/Mirror VII)
Chapter
VII ‘Pengguna Topeng bag.7’
Kami berdua semakin mendekati sumber tekanan
ini, asalnya dari sebuah lapangan yang cukup luas.
Lapangan ini…. Sudah lama tidak kudatangi.
Dulunya, kadang aku mampir kesini untuk bermain sepak bola sewaktu
SD. Saat itu, di setiap sore, tempat ini sangat ramai didatangi orang.
Anak-anak yang menendang-nendang bola. Tanpa
menghiraukan matahari yang perlahan berpindah posisi.
Orang dewasa yang berbincang-bincang. Menunggu
matahari tergelincir lebih dalam lagi sehingga sinarnya tenggelam.
Tapi saat ini, rasanya begitu sepi. Terlihat
betul dampak dari “Kekacauan” yang menimpa kami.
Kesampingkan hal tersebut, perasaan tidak enak
yang kurasakan lama kelamaan menjadi semakin kuat. Lalu tiba-tiba sesuatu
terjadi disana, kami menyaksikan hal yang mengerikan sedang terjadi.
“Apa itu? Rongkongan manusia?”
Itu benar. Tulang belulang muncul dari tanah
di lapangan itu.
Namun, mendadak seseorang ikut dalam
percakapan kami.
Oh, dia bukanlah seseorang.
“TEPAT
SEKALI! HAHAHAHA…,” tawa seekor iblis membenarkan perkataanku. “Wah wah, apa
kau bocah yang melawanku waktu itu?”
Mengetahui hal itu, lekas kupakai topengku.
Diikuti dengan cahaya yang menyelimuti, aku bergabung dengan R.
Untuk sedikit memberinya sapaan, aku keluarkan
satu buah pisau yang kemudian kulemparkan. Dan juga aku mencoba mengambil
kesempatan untuk melukainya terlebih dahulu.
Namun, sama saja, dia mampu menghindarinya
dengan begitu mudah.
“Apa yang kau rencanakan, dasar iblis!?”
kataku.
“Hahaha tenanglah bocah, kau tau? Aku
sedang mengumpulkan pasukan untuk menyerang kota ini.”
Seperti yang iblis itu katakan, kumpulan
rongkongan manusia yang jumlahnya sangat banyak itu adalah pasukannya. Kali ini
untuk menyerang kota, ini tidak bisa dibiarkan.
“Tidak lagi iblis! Kali ini akan
kuhentikan rencanamu.”
“Hahahaha, luapan perasaan yang bagus,
bocah. Aku jadi tak sabar untuk bermain denganmu, mungkin alasan kau masih
hidup sekarang, hanya untuk jadi bahan bermainku saja.”
“TUTUP MULUTMU!”
Aku panggil pisauku sebanyak mungkin. Ayla
yang ada di belakangku mulai mengenakan topengnya dan bergabung dengan Isla.
Kemudian kulemparkan pisau-pisauku ke arah iblis itu.
Kali ini tetap saja, semua seranganku bisa
dengan mudahnya dia hindari.
“Aku
tidak akan terkena oleh trik yang sama, dasar bocah.”
Cih, dia ada benarnya.
Aku yang hanya fokus kepada Ifrit melupakan
para rongkongan itu. Tiba-tiba Ayla mengatakan sesuatu yang tidak biasa untuk
dia katakan.
“Kita
singkirkan dulu pasukannya sebanyak yang kita bisa, melawannya langsung malah
akan membuat ini lebih susah.”
“K-Kau
benar, tapi…! Biarkan aku meladeni iblis api ini juga.”
“Kalau
begitu, tolong….”
Sekarang, kami akan mengalahkan pasukan
tengkorak itu terlebih dulu, Ayla langsung mengeluarkan busur dan anak
panahnya. Cara kerjanya sama persis seperti saat aku memanggil pisau milikku. Kemudian
Ayla mengarahkan busurnya ke atas, dia diam sejenak sebelum menembak. Dan
tiba-tiba mulutnya mengeluarkan kata-kata semacam jampi yang tak biasa.
“Saka
dirgantara tudhun midhun…, ingkang kawujud banyu, malih dados danu,” ucapnya
sambil memejamkan mata. “HERTATI ANDANU...!”
Bersamaan dengan dirinya mengucapkan jampi
itu, anak panahnya melesat lalu menggandakan dirinya. Mereka mengenai para
pasukan tengkorak.
“Nilawarsa.”
Lagi-lagi dia mengatakan sesuatu yang asing. Ayla meluncurkan panahnya sekali lagi.
Kali ini, selain menjadi banyak, anak panah
itu melaju acak dengan sangat cepat.
Ya, bagai tertiup angin.
“Apa-apaan
ini? Ini tidak baik, lho….”
Tiba-tiba Ifrit berkata demikian. Aku sudah
menduga dia akan melancarkan serangan sementara Ayla sedang sibuk dengan
mantranya.
“Diamlah
Ifrit! Hadapi aku jika kau hendak menyerang!”
Namun Ayla dapat menyelesaikan mantra dengan
cepat.
“Basma
ingkang kedah dipunbasmi, Wresthipatha Cundhamani…,”
Untuk ketiga kalinya, Ayla menarik busurnya
kembali. Anak panah yang ia tarik sekarang terbakar dengan api biru miliknya.
Bukan hanya itu, mereka berlipat ganda lagi dan menjatuhi kerangka-kerangka
yang hidup itu. Api miliknya membakar mereka tanpa merusak rumput-rumput
dibawahnya.
Jadi begitukah efek api dinginnya?
“Hahaha
hebat! Hebat sekali! Selamat bocah! Nampaknya temanmu berhasil mengagalkan
rencana penyeranganku.”
Iblis itu tertawa melihat rencananya digagalkan.
Atau lebih tepatnya, dia tertawa karena melihat kekuatan Ayla.
Ifrit lalu berjalan mendekat ke arahku. Aku
mengambil sikap siaga.
“Hahaha!
Bagaimana jika kau tenang dulu, bocah?”
Itu membuat jarak kami kini menjadi sangat
dekat, iblis itu berdiri di zona yang tidak mungkin bagi sebuah bisikan untuk
didengar oleh orang yang berada jauh dariku. Kemudian dia berkata.
“Temanmu
itu…, bagaimana menurutmu…? BAGAIMANA KALAU KUBUNUH DIA SEKARANG!!?”
Seketika itu, pupil mataku mengecil, alisku
terangkat. Karena mendadak menyadari bahwa iblis itu telah menghilang dari
dekatku dengan cepat.
“Kyaa-…ghh!!”
Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan dari arah
belakang.
Aku pun segera menoleh. Perasaanku mendadak
semakin menjadi-jadi.
Iblis itu…, iblis itu…,
Iblis itu…, iblis itu,
IBLIS ITUU!!!
... menusuk Ayla dengan pedangnya!!!?
--7.1--
“AYLAAA!!!”
“Kalau perempuan ini kusingkirkan,
sekarang kita bisa bertarung satu lawan satu,” ucap Ifrit.
Melihat apa yang barusan ia perbuat, kata-katanya
sekarang membuatku marah.
“Apa ini yang kau lakukan... Kau menyakiti
Ayla hanya untuk itu!?”
“Dia mengagalkan rencanaku, bukan? Ini
patut diterima oleh siapapun yang menggangguku.”
“R-R-Riv…, larilah –uhuk. K-K-Kalau tidak…, kau akan ter –uhuk l-l-luka seperti kemarin.”
“Bertahanlah Ayla!”
Ayla berbicara kepadaku walau jarak kami tidak
begitu dekat. Dengan mulutnya yang penuh darah, ia masih berusaha menahan sakit
dari tebasan pedang api itu. Sebagian darah keluar bersamaan dengan
kata-katanya.
“HAHAHAHA!
Kalian benar-benar sesuatu! Haruskah kubakar juga gadis ini dengan apiku?”
“HENTIKAN!!”
Aku mulai bertambah kesal.
“JAUHKAN PEDANG KOTORMU DARI AYLA!”
Hanya rasa marah yang meliputiku hatiku.
“ENYAHLAH
KAU DASAR IBLIS!!!”
Pikiranku mendadak kosong.
“………….”
Tiba-tiba nampak semacam aura merah di sekitar
tubuhku.
Aku mendadak kehilangan kesadaran.
Yang terakhir kali ku pandang hanyalah.
Senyum dari iblis api itu.
--7.2--
Dimana aku? Tempat yang sejuk, dengan awan
mendung berpetir.
Aku angkat tubuhku untuk duduk. Di tempat itu,
sesuatu mengejutkanku.
Ada seseorang yang nampak seperti diriku…,
bukan, dia memakai topeng. Mungkinkah R?
Orang itu diikat di atas tiang kayu, dan yang
membuatku heran, dia terbakar bersama dengan tiang tersebut.
Aku mencoba mendekatinya, sama sekali tidak
ada jeritan atau rintihan rasa sakit. Beribu pertanyaan muncul di kepalaku.
Tidak lama saat aku sedang bertanya-tanya
sendiri, aku menyadari ada seorang mendekat. Dia nampaknya seorang pria paruh
baya.
Siapa dia? Apa yang dirinya lakukan disini? Tunggu….
Dia terlihat seperti...?
“A-Ayah!? Kaukah itu?” tanyaku.
“Rivie, sudah lama kita tidak
bertemu,”
Suaranya…, dia benar-benar ayahku.
“Kenapa ayah bisa disini? Lalu ini
dimana?” tanyaku.
“Yah, sepertinya rohku masih berada di
dunia ini, tidak kusangka mereka menyuruhku masuk ke dalam alam bawah sadarmu.”
“Tempat ini…, alam bawah sadarku?”
“Ya seperti yang kamu lihat. Dan yang
terbakar disana itu, adalah bayanganmu,” ucapnya.
“Itu tandanya dia sedang
betarung melawan dosa.”
Dari percakapan yang kulakukan dengan ayahku,
banyak hal yang tidak kumengerti. Termasuk juga, aku ingin mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi sehingga ayahku bisa terbunuh.
“Tunggu sebentar, ayah! K-Kenapa saat
itu kau meninggalkanku? Setelah ibu meninggal…, apa dirimu tega pergi begitu
saja tanpa berpamitan denganku? ….Tanpa memberi nasihat hidup seperti yang
biasa kau lakukan??”
“Cukuplah, Riv. Kau sudah cukup
dewasa, dan ayah tau kau takkan mati semudah diriku ini. Lagipula aku mati
bukan karena keinginanku, itu karena sebuah bencana menyerang diriku.”
“Apa yang menimpamu? Sampai-sampai
membuat ayah terbunuh?”
“Mengenai itu, maafkan ayah Riv, ayah
dilarang menceritakannya.”
“Kenapa?? Siapa yang melarang ayah?
Apa seorang anak tidak boleh mendengar hal itu?”
Aku mungkin sudah berlebihan. Aku ingin
mengetahuinya, karena setelah sepuluh bulan menyakitkan itu, tak disangka aku
dapat bertemu kembali dengan Ayahku.
Tetapi tiba-tiba beliau membentakku dengan
suara beratnya.
“Rivie! Ada yang harus lebih kamu
pikirkan! Dirimu perlahan akan termakan amarah.”
“Kh-! B-B-Baiklah, maafkan aku,
ayah…,” ucapku merasa menyesal. “Jadi apa yang ayah maksud dengan ‘dosa’?”
tanyaku.
“Baguslah jika kamu mengerti, jadi
diamlah dan dengarkan…. Sekarang ini dirimu sedang hilang kendali karena amarah
mu. Iblis itu, Ifrit..., dia memang sengaja membuatmu marah, lalu merasuki
hatimu. Karena itulah satu-satunya cara yang mempan, cara yang paling ampuh
dalam menghadapi para Maschter seperti kalian,” ayahku
menjelaskan dengan wajah serius. “Dosa yang kau perbuat…, adalah Amarah…. Keberadaan
bayanganmu mempunyai hubungan dengan dosamu itu. Ia bagaikan cermin dari
dirimu, dirinya sangat penurut dan ceria bukankah begitu? Sifatnya mampu
menangkal dosamu. Bayanganmu sekarang sedang berjuang menyadarkan dirimu,”
lanjutnya.
“Kalau begitu, apa yang harus kuperbuat?
Agar dapat mengambil alih hatiku lagi atau lebih tepatnya tubuhku?”
“Riv, kamu sudah semakin dewasa, jadi
pikirkanlah! Dan jawablah pertanyaanku! Jiwa
seorang pria seperti apa yang ingin kau miliki di dalam dirimu!?”
“Jiwa yang seperti apa? Kalau ayah
bertanya begitu, tentu saja…, aku ingin menjadi pria yang kuat!”
“TERLALU PELAN! Katakan lebih keras!”
“Aku ingin menjadi kuat!”
Ya, itulah keinginanku.
“PERCUMA! Berteriaklah!”
“AKU INGIN MENJADI KUAT!!!”
Aku menuruti perkataan ayah. Lalu berteriak
sekeras yang aku bisa.
“SEKALI LAGI! TUNJUKKAN SENYUMMU!”
“AKU INGIN MENJADI KUAT!!!!”
Kali ini aku berteriak dengan senyuman.
“Baik! Kau sudah bertekad akan menjadi
kuat, dan amarah sama sekali tidak akan membuatmu kuat, Putraku…,” panggilnya.
“Mengapa begitu? Alasannya adalah nasihat yang akan kuberikan padamu,
hitung-hitung ini pesan hidup terakhir yang tak sempat kuberikan sebelum diriku
mati. Seperti yang kamu minta, Riv.”
“Jadi, mengapa amarah sama sekali
tidak membuatku kuat?”
“Aku sudah pernah bilang…, bahwa
kekuatan seorang manusia terletak di jiwanya. Fisik hanyalah daging yang
menyelimuti. Luka di tangan berbeda dengan luka di hati. Orang yang kurus masih
dapat menjaga hidupnya, lain halnya dengan orang yang gila. Maka dari itu, orang
yang kuat bukanlah orang yang pandai bertarung, tetapi! Orang yang kuat adalah
orang yang mampu mengendalikan amarahnya!”
Ayahku berkata sambil menepuk pundakku…, dengan
tatapannya yang serius.
“Jadi,
jangan hanya mengandalkan amarahmu untuk menyelesaikan sesuatu. Kendalikan
amarah itu, jadikan itu sebagai jinakanmu. Untuk menjadi orang yang kuat.”
Sesaat aku terdiam, benar kata ayah, aku
mungkin terlalu mudah untuk marah. Aku lengah saat iblis itu memancing
kemarahanku. Seharusnya aku bisa melawannya tanpa menggunakan amarahku.
Tiba-tiba air mataku mulai mengalir. Teringat
sosok ayah yang selalu menemani diriku saat aku sendirian. Ketika aku teringat
pada ibu dia membelikanku makanan yang sering ibu belikan untukku.
Dia tidak mahir memasak namun, dia tidak
pernah berhenti memasak untukku. Ayahku berjuang keras menjadi pengganti ibu.
Walau rasanya memang berbeda, tapi ayah sudah cukup menemaniku sepeti halnya
ibu.
Hingga tragedi yang menewaskan ayahku. Aku
benar-benar tertekan seakan sudah tidak ada harapan untuk melanjutkan hidup. Aku
keluar dari sekolahku. Awalnya aku menjalani hidupku seperti biasa, memasak, bersih-bersih,
belajar untuk mengejar ketertinggalanku. Waktu cepat berlalu,tak terasa hampir
satu tahun, aku sudah merasa cukup dengan semua. Sampai aku berusaha untuk
membunuh diriku sendiri. Karena koneksi wi-fi
yang selama ini kunikmati terputus begitu saja.
“Ayah.. terima kasih untuk apa yang
telah kau berikan selama ini, aku belum sempat mengatakannya,” ucapku pelan.
“Tak perlu berterimakasih padaku…, ini
semua berkat ibumu.”
Belum sempat membalas perkataannya, Ayahku
melanjutkan perkataannya.
“Satu hal lagi dari ayahmu ini Riv, jangan
balas dendam karena kematianku. Dan carilah banyak teman agar kau dapat
menemukan tujuan hidupmu yang baru. Mungkin hanya sampai disini rohku bisa
bertahan.”
“T-Tunggu! Ayah akan pergi?”
“Haha, begitulah. Walau sebentar, aku
senang melihatmu sudah bukan lagi anak cengeng seperti dulu!”
“M-Meski begitu, ayah…. Aku sedang
menangis, mengapa kau bilang aku bukan lagi anak cengeng?”
“Hmm? Tentu saja, karena itu bukanlah
tangisan orang lemah!” suara berat dan senyumannya itu menggetarkan tubuhku. “…Selamat
tinggal.”
“S-Selamat tinggal, ayah….”
Aku usap kedua mataku. Aku berkata dalam
batinku, bahwa aku sangat beruntung memiliki Ayah seperti dirinya.
Jadi! Apa yang harus kuperbuat sekarang?
Kalau menurut perkataan ayah tadi. Untuk
mengendalikan amarahku ini, aku hanya harus berpikir tenang seperti R. Tapi
bagaimana caranya? Rasanya memang tidak mudah mengendalikan amarah. Bukankah
perasaan seperti amarah juga berasal dari hati? Artinya kalau aku ganti amarah
itu dengan perasaan lain pasti berhasil.
Sebentar…, bukannya aku baru saja senang dan
menangis?
Sekejap mataku terbuka, kesadaranku menghilan dari tempat itu. Kemudian terdengarlah
teriakan seekor iblis.
“A-A-Apa yang terjadi!?”
“Heh, kau tidak akan mengerti, beraninya
mengambil alih tubuhku,” ujarku sambil tersenyum tipis.
“Tidak mungkin! Kau…! Kau…! Kau tidak
mungkin bisa mengalahkan amarahmu!”
“Kalau ‘aku’ mungkin jawabannya memang
‘tidak’, tapi kami…, iya!”
R yang sudah tersadar, muncul di belakangku.
0 comments:
Post a Comment