728x90 AdSpace

Latest News

Friday, November 6, 2015

Last Mirror Chapter 7

“Bukanlah orang yang kuat yang menang dalam pergulatan akan tetapi orang yang kuat ialah yang mampu menahan hawa nafsunya saat marah.”
(HR. al-Bukhari no.5763, Muslim no.2609) (Last/Mirror VII)

Chapter VII ‘Pengguna Topeng bag.7’


Kami berdua semakin mendekati sumber tekanan ini, asalnya dari sebuah lapangan yang cukup luas.

Lapangan ini…. Sudah lama tidak kudatangi.

Dulunya, kadang aku mampir kesini untuk bermain sepak bola sewaktu SD. Saat itu, di setiap sore, tempat ini sangat ramai didatangi orang.

Anak-anak yang menendang-nendang bola. Tanpa menghiraukan matahari yang perlahan berpindah posisi.

Orang dewasa yang berbincang-bincang. Menunggu matahari tergelincir lebih dalam lagi sehingga sinarnya tenggelam.

Tapi saat ini, rasanya begitu sepi. Terlihat betul dampak dari “Kekacauan” yang menimpa kami.
Kesampingkan hal tersebut, perasaan tidak enak yang kurasakan lama kelamaan menjadi semakin kuat. Lalu tiba-tiba sesuatu terjadi disana, kami menyaksikan hal yang mengerikan sedang terjadi.

“Apa itu? Rongkongan manusia?”

Itu benar. Tulang belulang muncul dari tanah di lapangan itu.

Namun, mendadak seseorang ikut dalam percakapan kami.

Oh, dia bukanlah seseorang.

                “TEPAT SEKALI! HAHAHAHA…,” tawa seekor iblis membenarkan perkataanku. “Wah wah, apa kau bocah yang melawanku waktu itu?”

Mengetahui hal itu, lekas kupakai topengku. Diikuti dengan cahaya yang menyelimuti, aku bergabung dengan R.

Untuk sedikit memberinya sapaan, aku keluarkan satu buah pisau yang kemudian kulemparkan. Dan juga aku mencoba mengambil kesempatan untuk melukainya terlebih dahulu.

Namun, sama saja, dia mampu menghindarinya dengan begitu mudah.

“Apa yang kau rencanakan, dasar iblis!?” kataku.

“Hahaha tenanglah bocah, kau tau? Aku sedang mengumpulkan pasukan untuk menyerang kota ini.”

Seperti yang iblis itu katakan, kumpulan rongkongan manusia yang jumlahnya sangat banyak itu adalah pasukannya. Kali ini untuk menyerang kota, ini tidak bisa dibiarkan.

“Tidak lagi iblis! Kali ini akan kuhentikan rencanamu.”

“Hahahaha, luapan perasaan yang bagus, bocah. Aku jadi tak sabar untuk bermain denganmu, mungkin alasan kau masih hidup sekarang, hanya untuk jadi bahan bermainku saja.”

“TUTUP MULUTMU!”

Aku panggil pisauku sebanyak mungkin. Ayla yang ada di belakangku mulai mengenakan topengnya dan bergabung dengan Isla. Kemudian kulemparkan pisau-pisauku ke arah iblis itu.
Kali ini tetap saja, semua seranganku bisa dengan mudahnya dia hindari.

                “Aku tidak akan terkena oleh trik yang sama, dasar bocah.”

Cih, dia ada benarnya.

Aku yang hanya fokus kepada Ifrit melupakan para rongkongan itu. Tiba-tiba Ayla mengatakan sesuatu yang tidak biasa untuk dia katakan.

                “Kita singkirkan dulu pasukannya sebanyak yang kita bisa, melawannya langsung malah akan membuat ini lebih susah.”

                “K-Kau benar, tapi…! Biarkan aku meladeni iblis api ini juga.”

                “Kalau begitu, tolong….”

Sekarang, kami akan mengalahkan pasukan tengkorak itu terlebih dulu, Ayla langsung mengeluarkan busur dan anak panahnya. Cara kerjanya sama persis seperti saat aku memanggil pisau milikku. Kemudian Ayla mengarahkan busurnya ke atas, dia diam sejenak sebelum menembak. Dan tiba-tiba mulutnya mengeluarkan kata-kata semacam jampi yang tak biasa.

                “Saka dirgantara tudhun midhun…, ingkang kawujud banyu, malih dados danu,” ucapnya sambil memejamkan mata. “HERTATI ANDANU...!”

Bersamaan dengan dirinya mengucapkan jampi itu, anak panahnya melesat lalu menggandakan dirinya. Mereka mengenai para pasukan tengkorak.

                “Nilawarsa.”

Lagi-lagi dia mengatakan sesuatu yang asing. Ayla meluncurkan panahnya sekali lagi.
Kali ini, selain menjadi banyak, anak panah itu melaju acak dengan sangat cepat.
Ya, bagai tertiup angin.

                “Apa-apaan ini? Ini tidak baik, lho….”

Tiba-tiba Ifrit berkata demikian. Aku sudah menduga dia akan melancarkan serangan sementara Ayla sedang sibuk dengan mantranya.

                “Diamlah Ifrit! Hadapi aku jika kau hendak menyerang!”

Namun Ayla dapat menyelesaikan mantra dengan cepat.

                “Basma ingkang kedah dipunbasmi, Wresthipatha Cundhamani…,”

Untuk ketiga kalinya, Ayla menarik busurnya kembali. Anak panah yang ia tarik sekarang terbakar dengan api biru miliknya. Bukan hanya itu, mereka berlipat ganda lagi dan menjatuhi kerangka-kerangka yang hidup itu. Api miliknya membakar mereka tanpa merusak rumput-rumput dibawahnya.

Jadi begitukah efek api dinginnya?

                “Hahaha hebat! Hebat sekali! Selamat bocah! Nampaknya temanmu berhasil mengagalkan rencana penyeranganku.”

Iblis itu tertawa melihat rencananya digagalkan. Atau lebih tepatnya, dia tertawa karena melihat kekuatan Ayla.

Ifrit lalu berjalan mendekat ke arahku. Aku mengambil sikap siaga.

                “Hahaha! Bagaimana jika kau tenang dulu, bocah?”

Itu membuat jarak kami kini menjadi sangat dekat, iblis itu berdiri di zona yang tidak mungkin bagi sebuah bisikan untuk didengar oleh orang yang berada jauh dariku. Kemudian dia berkata.

                “Temanmu itu…, bagaimana menurutmu…? BAGAIMANA KALAU KUBUNUH DIA SEKARANG!!?”

Seketika itu, pupil mataku mengecil, alisku terangkat. Karena mendadak menyadari bahwa iblis itu telah menghilang dari dekatku dengan cepat.

                “Kyaa-…ghh!!”

Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan dari arah belakang.

Aku pun segera menoleh. Perasaanku mendadak semakin menjadi-jadi.

Iblis itu…, iblis itu…,

Iblis itu…, iblis itu,

IBLIS ITUU!!!

... menusuk Ayla dengan pedangnya!!!?

--7.1--

“AYLAAA!!!”

“Kalau perempuan ini kusingkirkan, sekarang kita bisa bertarung satu lawan satu,” ucap Ifrit.

Melihat apa yang barusan ia perbuat, kata-katanya sekarang membuatku marah.

“Apa ini yang kau lakukan... Kau menyakiti Ayla hanya untuk itu!?”

“Dia mengagalkan rencanaku, bukan? Ini patut diterima oleh siapapun yang menggangguku.”

“R-R-Riv…, larilah –uhuk. K-K-Kalau tidak…, kau akan ter –uhuk l-l-luka seperti kemarin.”

“Bertahanlah Ayla!”

Ayla berbicara kepadaku walau jarak kami tidak begitu dekat. Dengan mulutnya yang penuh darah, ia masih berusaha menahan sakit dari tebasan pedang api itu. Sebagian darah keluar bersamaan dengan kata-katanya.

                “HAHAHAHA! Kalian benar-benar sesuatu! Haruskah kubakar juga gadis ini dengan apiku?”

                “HENTIKAN!!”

Aku mulai bertambah kesal.

“JAUHKAN PEDANG KOTORMU DARI AYLA!”

Hanya rasa marah yang meliputiku hatiku.

                “ENYAHLAH KAU DASAR IBLIS!!!”

Pikiranku mendadak kosong.

                “………….”

Tiba-tiba nampak semacam aura merah di sekitar tubuhku.

Aku mendadak kehilangan kesadaran.

Yang terakhir kali ku pandang hanyalah.

Senyum dari iblis api itu.

--7.2--

Dimana aku? Tempat yang sejuk, dengan awan mendung berpetir.

Aku angkat tubuhku untuk duduk. Di tempat itu, sesuatu mengejutkanku.

Ada seseorang yang nampak seperti diriku…, bukan, dia memakai topeng. Mungkinkah R?

Orang itu diikat di atas tiang kayu, dan yang membuatku heran, dia terbakar bersama dengan tiang tersebut.

Aku mencoba mendekatinya, sama sekali tidak ada jeritan atau rintihan rasa sakit. Beribu pertanyaan muncul di kepalaku.

Tidak lama saat aku sedang bertanya-tanya sendiri, aku menyadari ada seorang mendekat. Dia nampaknya seorang pria paruh baya.

Siapa dia? Apa yang dirinya lakukan disini? Tunggu…. Dia terlihat seperti...?

“A-Ayah!? Kaukah itu?” tanyaku.

“Rivie, sudah lama kita tidak bertemu,”

Suaranya…, dia benar-benar ayahku.

“Kenapa ayah bisa disini? Lalu ini dimana?” tanyaku.

“Yah, sepertinya rohku masih berada di dunia ini, tidak kusangka mereka menyuruhku masuk ke dalam alam bawah sadarmu.”

“Tempat ini…, alam bawah sadarku?”

“Ya seperti yang kamu lihat. Dan yang terbakar disana itu, adalah bayanganmu,” ucapnya. 
“Itu tandanya dia sedang betarung melawan dosa.”

Dari percakapan yang kulakukan dengan ayahku, banyak hal yang tidak kumengerti. Termasuk juga, aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sehingga ayahku bisa terbunuh.

“Tunggu sebentar, ayah! K-Kenapa saat itu kau meninggalkanku? Setelah ibu meninggal…, apa dirimu tega pergi begitu saja tanpa berpamitan denganku? ….Tanpa memberi nasihat hidup seperti yang biasa kau lakukan??”

“Cukuplah, Riv. Kau sudah cukup dewasa, dan ayah tau kau takkan mati semudah diriku ini. Lagipula aku mati bukan karena keinginanku, itu karena sebuah bencana menyerang diriku.”

“Apa yang menimpamu? Sampai-sampai membuat ayah terbunuh?”

“Mengenai itu, maafkan ayah Riv, ayah dilarang menceritakannya.”

“Kenapa?? Siapa yang melarang ayah? Apa seorang anak tidak boleh mendengar hal itu?”
Aku mungkin sudah berlebihan. Aku ingin mengetahuinya, karena setelah sepuluh bulan menyakitkan itu, tak disangka aku dapat bertemu kembali dengan Ayahku.
Tetapi tiba-tiba beliau membentakku dengan suara beratnya.

“Rivie! Ada yang harus lebih kamu pikirkan! Dirimu perlahan akan termakan amarah.”

“Kh-! B-B-Baiklah, maafkan aku, ayah…,” ucapku merasa menyesal. “Jadi apa yang ayah maksud dengan ‘dosa’?” tanyaku.

“Baguslah jika kamu mengerti, jadi diamlah dan dengarkan…. Sekarang ini dirimu sedang hilang kendali karena amarah mu. Iblis itu, Ifrit..., dia memang sengaja membuatmu marah, lalu merasuki hatimu. Karena itulah satu-satunya cara yang mempan, cara yang paling ampuh dalam  menghadapi para Maschter seperti kalian,” ayahku menjelaskan dengan wajah serius. “Dosa yang kau perbuat…, adalah Amarah…. Keberadaan bayanganmu mempunyai hubungan dengan dosamu itu. Ia bagaikan cermin dari dirimu, dirinya sangat penurut dan ceria bukankah begitu? Sifatnya mampu menangkal dosamu. Bayanganmu sekarang sedang berjuang menyadarkan dirimu,” lanjutnya.

“Kalau begitu, apa yang harus kuperbuat? Agar dapat mengambil alih hatiku lagi atau lebih tepatnya tubuhku?”

“Riv, kamu sudah semakin dewasa, jadi pikirkanlah!  Dan jawablah pertanyaanku! Jiwa seorang pria seperti apa yang ingin kau miliki di dalam dirimu!?”

“Jiwa yang seperti apa? Kalau ayah bertanya begitu, tentu saja…, aku ingin menjadi pria yang kuat!”

“TERLALU PELAN! Katakan lebih keras!”

“Aku ingin menjadi kuat!”

Ya, itulah keinginanku.

“PERCUMA! Berteriaklah!”

“AKU INGIN MENJADI KUAT!!!”

Aku menuruti perkataan ayah. Lalu berteriak sekeras yang aku bisa.

“SEKALI LAGI! TUNJUKKAN SENYUMMU!”

“AKU INGIN MENJADI KUAT!!!!”

Kali ini aku berteriak dengan senyuman.

“Baik! Kau sudah bertekad akan menjadi kuat, dan amarah sama sekali tidak akan membuatmu kuat, Putraku…,” panggilnya. “Mengapa begitu? Alasannya adalah nasihat yang akan kuberikan padamu, hitung-hitung ini pesan hidup terakhir yang tak sempat kuberikan sebelum diriku mati. Seperti yang kamu minta, Riv.”

“Jadi, mengapa amarah sama sekali tidak membuatku kuat?”

“Aku sudah pernah bilang…, bahwa kekuatan seorang manusia terletak di jiwanya. Fisik hanyalah daging yang menyelimuti. Luka di tangan berbeda dengan luka di hati. Orang yang kurus masih dapat menjaga hidupnya, lain halnya dengan orang yang gila. Maka dari itu, orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bertarung, tetapi! Orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan amarahnya!”

Ayahku berkata sambil menepuk pundakku…, dengan tatapannya yang serius.

                “Jadi, jangan hanya mengandalkan amarahmu untuk menyelesaikan sesuatu. Kendalikan amarah itu, jadikan itu sebagai jinakanmu. Untuk menjadi orang yang kuat.”

Sesaat aku terdiam, benar kata ayah, aku mungkin terlalu mudah untuk marah. Aku lengah saat iblis itu memancing kemarahanku. Seharusnya aku bisa melawannya tanpa menggunakan amarahku.
Tiba-tiba air mataku mulai mengalir. Teringat sosok ayah yang selalu menemani diriku saat aku sendirian. Ketika aku teringat pada ibu dia membelikanku makanan yang sering ibu belikan untukku.
Dia tidak mahir memasak namun, dia tidak pernah berhenti memasak untukku. Ayahku berjuang keras menjadi pengganti ibu. Walau rasanya memang berbeda, tapi ayah sudah cukup menemaniku sepeti halnya ibu.

Hingga tragedi yang menewaskan ayahku. Aku benar-benar tertekan seakan sudah tidak ada harapan untuk melanjutkan hidup. Aku keluar dari sekolahku. Awalnya aku menjalani hidupku seperti biasa, memasak, bersih-bersih, belajar untuk mengejar ketertinggalanku. Waktu cepat berlalu,tak terasa hampir satu tahun, aku sudah merasa cukup dengan semua. Sampai aku berusaha untuk membunuh diriku sendiri. Karena koneksi wi-fi yang selama ini kunikmati terputus begitu saja.

“Ayah.. terima kasih untuk apa yang telah kau berikan selama ini, aku belum sempat mengatakannya,” ucapku pelan.

“Tak perlu berterimakasih padaku…, ini semua berkat ibumu.”
Belum sempat membalas perkataannya, Ayahku melanjutkan perkataannya.

“Satu hal lagi dari ayahmu ini Riv, jangan balas dendam karena kematianku. Dan carilah banyak teman agar kau dapat menemukan tujuan hidupmu yang baru. Mungkin hanya sampai disini rohku bisa bertahan.”

“T-Tunggu! Ayah akan pergi?”

“Haha, begitulah. Walau sebentar, aku senang melihatmu sudah bukan lagi anak cengeng seperti dulu!”

“M-Meski begitu, ayah…. Aku sedang menangis, mengapa kau bilang aku bukan lagi anak cengeng?”

“Hmm? Tentu saja, karena itu bukanlah tangisan orang lemah!” suara berat dan senyumannya itu menggetarkan tubuhku. “…Selamat tinggal.”

“S-Selamat tinggal, ayah….”

Aku usap kedua mataku. Aku berkata dalam batinku, bahwa aku sangat beruntung memiliki Ayah seperti dirinya.

Jadi! Apa yang harus kuperbuat sekarang?

Kalau menurut perkataan ayah tadi. Untuk mengendalikan amarahku ini, aku hanya harus berpikir tenang seperti R. Tapi bagaimana caranya? Rasanya memang tidak mudah mengendalikan amarah. Bukankah perasaan seperti amarah juga berasal dari hati? Artinya kalau aku ganti amarah itu dengan perasaan lain pasti berhasil.

Sebentar…, bukannya aku baru saja senang dan menangis?

Sekejap mataku terbuka, kesadaranku menghilan dari tempat itu. Kemudian terdengarlah teriakan seekor iblis.

“A-A-Apa yang terjadi!?”

“Heh, kau tidak akan mengerti, beraninya mengambil alih tubuhku,” ujarku sambil tersenyum tipis.

“Tidak mungkin! Kau…! Kau…! Kau tidak mungkin bisa mengalahkan amarahmu!”

“Kalau ‘aku’ mungkin jawabannya memang ‘tidak’, tapi kami…, iya!”


R yang sudah tersadar, muncul di belakangku.
no image
  • Title : Last Mirror Chapter 7
  • Posted by :
  • Date : 7:58 PM
  • Labels :
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Post a Comment

Top